Agen suara AI mengalahkan perekrut manusia dalam uji langsung yang mencakup 67.000 wawancara kerja. Hasilnya mengguncang pasar perekrutan.
Peneliti dari University of Chicago Booth School of Business dan Erasmus University Rotterdam menemukan wawancara yang dipimpin AI menghasilkan 12% lebih banyak tawaran kerja. Karyawan yang direkrut melalui AI juga bertahan 17% lebih lama.
Bagi perusahaan yang kewalahan oleh biaya rekrutmen dan tingkat keluar-masuk karyawan, angka ini sangat penting.
Eksperimen berfokus pada peran layanan pelanggan tingkat awal di Filipina. Pencari kerja dibagi secara acak: diwawancarai oleh agen suara AI, oleh perekrut manusia, atau diberi pilihan sendiri. Sejak awal, bot menegaskan bahwa mereka adalah sistem buatan.
Keputusan akhir perekrutan tetap dibuat manusia, berdasarkan performa kandidat dalam wawancara dan tes standar. Namun sistem AI lebih konsisten mengikuti skrip, menjangkau lebih banyak topik, dan menanyakan pertanyaan yang tepat. Saat melakukan ribuan wawancara, kelelahan manusia menjadi masalah nyata.
“AI berbicara lebih sedikit dan mendorong orang yang diwawancarai untuk berbicara lebih banyak,” kata Brian Jabarian, salah satu penulis studi di Booth’s Roman Family Center for Decision Research, yang meneliti bagaimana teknologi mengubah produktivitas kerja.
Studi ini menawarkan sebagian dari data paling kuat tentang apakah investasi AI perusahaan benar-benar membuahkan hasil. Meski begitu, tidak semuanya berjalan mulus.
Masalah dalam studi dan implikasinya
Gangguan teknis terjadi pada 7% wawancara AI. Selain itu, 5% kandidat menutup telepon karena enggan berbicara dengan robot.
Pelamar juga menilai AI “significantly less natural” dibanding percakapan dengan manusia — hal yang bisa dimaklumi mengingat keterbatasan teknologi suara saat ini.
Namun di antara mereka yang menyelesaikan proses, 70% menilai wawancara AI secara positif. Angka itu lebih tinggi dibanding sekitar setengah dari kandidat yang diwawancarai manusia. Hasil ini membuat para perekrut profesional terkejut, karena banyak yang menduga teknologinya akan gagal.
Fakta kunci
- Wawancara yang dipimpin AI menghasilkan 12% lebih banyak tawaran kerja dibanding perekrut manusia.
- Karyawan yang direkrut AI bertahan rata-rata 17% lebih lama daripada yang direkrut perekrut manusia.
- Gangguan teknis terjadi pada 7% wawancara AI.
- 5% kandidat menutup telepon saat wawancara AI karena enggan berbicara dengan robot.
- Di antara kandidat yang menuntaskan proses, 70% menilai wawancara AI positif, dibanding sekitar setengah pada wawancara manusia.
Saat diberi pilihan, hampir 80% kandidat memilih wawancara AI.
Faktor kenyamanan ikut berperan, karena kandidat bisa menjadwalkan panggilan kapan pun sesuai kebutuhan. Studi ini juga menemukan pandangan kandidat tentang AI cenderung positif, yang kemungkinan mendorong tingkat partisipasi.
Hasilnya mengejutkan bahkan bagi para peneliti. Selama ini interaksi sosial dianggap keunggulan manusia, sesuatu yang sulit ditiru mesin meski pemrosesan bahasa alami terus maju.
“Saya cukup terkejut bahwa agen suara AI sama baiknya dalam mengumpulkan data melalui interaksi sosial,” kata Brian.
Mengapa keberhasilan jangka pendek belum tentu berlanjut jangka panjang
Namun, studi ini menunjukkan kinerja yang lebih baik tidak otomatis berarti kasus bisnis yang lebih kuat.
Wawancara AI memang bisa dijadwalkan lebih cepat. Tetapi perekrut manusia membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk menelaah hasilnya. Keuntungan efisiensi itu pun cepat menguap.
Temuan ini selaras dengan riset terbaru dari MIT yang menunjukkan 95% proyek AI perusahaan gagal memberikan pengembalian yang terukur, meski ada belanja korporasi bernilai miliaran dolar.
Apakah alat rekrutmen berbasis AI masuk akal secara finansial bergantung pada konteks. Perusahaan kecil di wilayah dengan gaji perekrut rendah bisa kesulitan membenarkan biaya awal. Sebaliknya, korporasi besar yang memproses ribuan lamaran di pasar tenaga kerja berbiaya tinggi mungkin melihat penghematan nyata.
Aspek kualitas juga penting. Jika AI benar-benar menemukan kandidat yang lebih baik dan bertahan lebih lama, perusahaan menghemat biaya penggantian — terutama di sektor seperti call center dengan tingkat keluar-masuk tinggi.
“Kita harus beralih dari wacana ‘mungkin’ ke wacana yang lebih pasti, agar kita tidak kehilangan rasionalitas kita,” kata Brian.
Sumber : aimagazine